Minggu, 21 Februari 2016

~cerpen~ Payung Duit



Payung Duit
Hak Cipta : Syarifah Ulfah
“Tok..tok..tok tok!” ketokan yang sangat keras mengejutkan emak yang sedang memasak di dapur.
“Tunggu sebentaar,” kata emak sambil berlari menuju pintu, dirinya tak menyadari  dengan sesuatu yang ada ditangannya.
Saat membuka pintu, “bah, kau rupanya,!” kata emak.
“A..a..ampun mak, aku salah apa? aku cuma kebelet mak, permisi,” sahut Agus sambil gemetar melihat sang emak yang sedang memegang pisau.
Emak kebingungan melihat Agus berlari menuju belakang dan ia melihat celana Agus basah.
“Ya Alloh, anak emak, hari gini masih ngompol dicelana, ckckck,” desis emak.
Emak belum beranjak dari depan pintu, tiba-tiba ada Juli dan Rama.
“Mak, Agus ada ? “ kata Rama
“Ah kau ini, sama orang yang lebih tua itu harus ngucap salam dulu,” berontak Juli sambil menggepuk bahu Rama.
“Assalamualaikum mak, Agus ada ?” kata Juli sambil menunduk didepan emak, begitu juga si Rama mengikuti.
“Baru saja masuk kedalam,” kata emak dengan muka geramnya.
“Ampun seribu ampun mak, untuk apa pisau ditangan emak?” kata Rama sambil menunduk.
Emak kaget, ia baru sadar kalau ditangannya ada pisau, “Pantesan si Agus berlari sambil kecicir” dan kemudian emak tertawa sendiri “hahahaha.”
“Haaaa! Agus ngompol ??!” kata Juli dan Rama , kemudian mereka berdua saling berpandangan satu sama lain.

*****
Keesokan harinya, hujan turun sangat lebat, menyebabkan Agus tidak bisa berangkat kesekolah, karena ia tak punya payung layaknya teman-temannya yang lain. Padahal emak sudah mengambilkan daun pisang buat Agus, tapi Agus enggan menggunakannya. Katanya, dia malu sama teman-temannya disekolah. Agus duduk termenung diteras rumah, sambil memperhatikan air yang mengalir deras dari genteng rumahnya. Emak sangat prihatin melihat anak bungsunya dari depan pintu.
Tak lama, Septi, kakak dari Agus berpamitan dengan ibu, karena Septi bekerja pada sebuah toko sepatu di ibukota. Setiap hari Rabu, ia dipinjami sepeda oleh adiknya, Agus. Dan itu sudah menjadi kesepakatan dalam lingkup rumah Agus.
Agus tetap termenung, mungkin ia menunggu hujan sampai reda.
“Hei gus, kenapa kau diam saja? tak sekolahkah kau?”
“Apakah kau tak lihat, hujan noh hujan! ” sahut Agus dengan cukup keras.
Septi tak menghiraukan Agus lagi, salah dia sendiri tak mau berangkat sekolah dengan daun pisang itu.
Tak lama kemudian, tiba Juli dan Rama dirumah Agus. Masing-masing mereka menggunakan payung. Agus pun semakin malu dengan kedua sahabatnya itu.
“Gus, ayolah kita berangkat,” ucap Rama.
“Aku nggak punya payung, nanti seragamku basah,” jawab Agus.
Si Agus kembali termenung. Sedangkan Rama dan Juli berpikir sejenak, bagaimana caranya agar mereka bertiga bisa berangkat sekolah bersama-sama.
“Hei Gus, kau ditengah saja, payung Rama kan ukurannya lumayan besar dari payungku, jadi, kau berdua saja dengan Rama” kata Juli.
Agus menatap kedua sahabatnya tersebut,kemudian ia mengiyakannya.
“Eits tapi, maukan kau pegangkan tas ku?” sahut Rama sambil bergurau.
“Ah okelah, tapi kau yang pegang payungnya,” jawab Agus.
“ wah Rama curang, ini namanya pemanfaatan teman, hahahaha,” kata Juli.
Kemudian mereka bertiga tertawa serentak. Mereka pun berangkat menuju sekolah. Tapi, ditengah perjalanan hujannya reda,sehingga mereka tak perlu menggunakan payung lagi.
Di sekolah. Agus , Rama dan Juli satu kelas, duduknya pun mereka berdekatan. Mereka sahabat dari jaman SD. Jika ada tugas maupun PR, mereka paling jago. Jago nyontek maksudnya. Tapi kalau dibanding-bandingkan si Juli lebih pintar dari Rama dan Agus. Tapi kalau masalah Olahraga Rama juaranya. Dan Agus, ia rajin sekali membuat mainan. Makanya dia sering disebut guru seninya sebagai Gutif. Artinya Agus kreatif. Di rumahnya, banyak sekali mainan dari kayu bekas yang ia buat sendiri, kalau ia sudah mulai bosan dengan mainannya tersebut, terkadang ia jual ataupun dia berikan kepada anak-anak di sekitar rumahnya. Si Agus juga orangnya pandai, pandai menghemat uang tapi si Agus ini kadang kurang percaya diri dengan dirinya sendiri. Hasil jualannya ia tabung, katanya sih buat beli sepeda. Biar nggak gantian lagi sama kakaknya, Septi.
*****
Ketika pembelajaran berlangsung, si Juli kebelet pipis. Tapi ia takut izin keluar kelas sama pak Yogi. Pak yogi adalah guru matematika, seperti di sekolah pada umumnya guru matematika itu terkenal killer-nya. Ditambah lagi pelajarannya yang bikin otak setrum.
“Jul, kenapa kok dari tadi gak diam?” kata teman sebangkunya, Agus.
“Aku pengen pipis, tapi takut izin sama pak Yogi,” jawab Juli sambil berbisik.
Agus nyengir melihat temannya yang lagi seperti cacing kepanasan.
“Gini aja, pura-pura pinjam buku matematika di kelas sebelah,” kata Agus.
Juli mengangguk, “haha pinter juga kau,gus!” . Juli langsung beranjak dari bangkunya dan menuju meja pak Yogi, wajah pak Yogi yang seram membuat Juli semakin kebelet. “Tuhan, mau pipis aja udah mau setengah mati gini,” desis Juli dalam hati.
“Pak, izin ke kelas sebelah, ya? Mau mengambil buku yang dipinjam sama teman,” kata Juli sambil gemetar.
Pak yogi mengerutkan keningnya, antara gak percaya dan setengah percaya. Kumisnya miring , Juli semakin nggak kuat. Juli pun langsung keluar kelas, tanpa mendengar kata “iya” dari pak Yogi.
Setelah “plong” Juli kembali ke kelas dengan wajah agak santai, ia tak menengok pak Yogi sedikitpun, karena ia tahu pak Yogi pasti memasang muka monsternya.
Tiba di bangku, Agus berbisik “ kau hebat jul, pakai mantra apa diluar tadi, kok, pak Yogi nggak marah?” “Ah masa iya? Mantra apaan emang aku ini pesulap,” sahut Juli sambil membuka-buka lembaran buku didepannya.
Tiba-tiba..
“Juli, ke depan! Bawa buku yang barusan kau ambil di kelas sebelah” ucap pak Yogi dengan santai.
Juli kaget, “mati aku gus, mati!” “kau hidup jul, hidup kok,” kata Rama dari depan.
Juli berjalan maju ke depan dengan kaki gemetar. Ia membawa buku matematikanya. Lalu, buku matematikanya diperiksa pak Yogi.
“Angkat satu kaki,pegang satu kuping,” kata pak yogi.
“Hahahha.” serentak, semua anak-anak terbahak-bahak termasuk Agus dan Rama melihat Juli. Ternyata resliting celananya tidak tertutup. Dan  pak Yogi menggeram ketika melihat buku Juli.
“Juli, kamu bilang teman kamu pinjam bukumu, sedangkan di kelas sebelah sudah lama belajar materi ini, untuk apa dia meminjam bukumu?!!” Juli hanya terdiam.
 “Juli, perbaiki dulu resliting celanamu!” kata pak Yogi.
Dengan wajah pucat sambil  mengangkat satu kaki dan juga memegang kuping kirinya, Juli berkata “Maaf pak Yogi, tadi aku kebelet pipis, tapi aku takut izin sama bapak, jadinya aku bilang saja ke kelas sebelah dengan alasan ngambil buku matematika,”
“hmm..lain kali kalau ketahuan bohong lagi, saya pelorotin celanamu didepan sini, sana balik ke bangkumu,” kata pak Yogi sambil mengusap-usap kumis hitamnya. Juli pun kembali ke bangkunya. Kebetulan, saat itu jam pelajaran pak Yogi sudah habis, dan berlanjut dengan pelajaran lain.
Saat pulang sekolah, Juli , Agus dan Rama kembali bersama-sama. Mereka saling bercerita tentang kejadian waktu pelajaran matematika tadi. Di perjalanan mereka terbahak-bahak mengingat resliting Juli terbuka dan dilihat oleh seisi kelas. Tak lama, Agus tiba di rumahnya duluan, saking persahabatan mereka sangat kuat, mereka mengantar  Agus sampai depan pintu. Agus menyuruh mereka berdua untuk mampir sebentar di rumahnya, sambil menikmati teh yang disuguhkan oleh emak. Mereka berdua pun setuju, tapi hanya sedikit saja meminumnya, karena mereka takut kalau hujan turun lagi. Meskipun mereka punya payung mereka tak membawa jaket. Dan juga karena rumah Rama lebih jauh dari rumah Agus maupun Juli. Sebelum pulang, mereka berdua pamitan sama emak, dan juga mengajak Agus agar membuat mainan pada sore hari di rumah Juli.
Setelah Juli dan Rama pulang, Agus tidak lupa mencium telapak tangan si emak ketika datang berpergian, setelah itu dia mengganti seragamnya dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Mungkin karena cuaca sangat dingin, ia pun tertidur. Jam sudah menunjukkan jam 15.00 WIB. Sebentar lagi Ashar. Si emak membangunkan Agus dengan cara membunyikan piring yang ia ketukkan dengan sendok.
“Kebakaran, kebakaran!!” ucap Agus dengan kaget dan ia terbangun dari tidur pulasnya.
“Badanmu nanti yang terbakar kalau kau tak shalat zuhur!” kata emak sambil keluar dari kamar Agus.
“Ah, sudah sore rupanya,” Agus menatap jam dinding dan ia langsung bergegas berwudhu untuk shalat zuhur dilanjutkan shalat Ashar. Setelah selesai ia bersiap-siap ke rumah Juli, karena sudah janji akan membuat mainan sama-sama.
Agus pun menuju rumah Juli, letaknya lumayan jauh dari rumah Agus. Tapi ia hanya jalan kaki, karena sepedanya masih dipakai kakaknya bekerja. Sesampai dirumah Juli, disana sudah ada Rama yang sedang menggayat papan bekas. Mereka pun sama-sama membuat mainan. Sambil menikmati es syrup buatan mamanya Juli, Bu Atik. Mereka sangat semangat dalam membuat mainan tersebut, masing-masing mereka punya satu mainan hasil buatan masing-masing. Tak lama, cuaca gerimis. Agus mulai khawatir jika ia tak bisa pulang ke rumah, karena dia tak punya payung.
Rama dan Juli sangat paham dengan raut muka Agus, mereka berdua mencoba bergurau.
“Nyium bau nggak?” kata Rama.
“Bau apa?” kata Juli.
Agus tersenggak, ia baru ingat kalau dia lupa mandi sebelum menuju rumah Juli.
Agus nyengir “hehehee bau apa ya?”
“Kok kamu nyengir gus? Jangan-jangan si Agus belum mandi nih,” kata Juli sambil tertawa kecil.
“Bau apa emang?” kata Agus semakin penasaran.
“Bauang goring," kata Rama sambil tertawa cekikikan.
“Ah, kau ini, aku kira kalian tau beneran aku belum mandi,” spontan Agus menjawab.
“wah ternyata Agus beneran belum mandi, hahahaa,” kata Juli.
“Aku juga,” kata Rama sambil nyengir.
“Sama aja sih, aku juga,” kata Juli.
“hahahahahaa.” mereka bertiga terbahak-bahak.
Hujan belum reda, Agus kembali resah memikirkan bagaimana ia pulang ke rumahnya. Kemudian ia berfikir untuk menjual hasil mainan buatannya tadi agar bisa membeli payung di toko dekat rumah Juli. Saat Agus meminta salah satu dari mereka membeli mainannya ,Ibu Atik yang membelinya. Lumayan dihargai Rp.20.000 , meskipun payung hanya Rp.15.000. Agus pun pergi  membeli payung sebentar ke depan, dekat jalan raya. Karena saat itu hujan sedikit reda. Tapi sayang, toko payungnya tutup, dan hujan semakin deras, alhasil Agus terdiam sebentar di depan toko, seketika dia menoleh ke samping disana terlihat payung di dekat ranting-ranting pohon. Sepertinya payung itu sudah rusak dan dibuang. Agus pun memungutnya, karena ia pikir takkan ada orang yang memiliki payung rusak ini. Warnya merah, bagian atasnya agak kotor, mungkin sudah beberapa hari dibuang. Saat ia periksa payung tersebut, ternyata ada selembar uang kertas harga Rp.100.000. Ia kaget, sudah mendapat payung, meskipun jelek dan rusak dapat duit lagi. Ia sangat gembira, ia menggunakan payung tersebut kembali kerumah Juli, ia ingin berbagi yang ia dapat dengan Juli dan Rama. Tetapi, setiba dirumah Juli, pagarnya sudah terkunci. Agus pun pulang ke rumahnya, masih dengan wajahnya yang sangat gembira. Setiba dirumah, dilihatnya emak sedang tertidur pulas, ia tak ingin membangunkan sang emak. Lalu ia pergi ke belakang untuk memperbaiki payung yang ia dapat di depan toko tadi. Dan tak lupa juga ia membersihkannya. Setelah dibersihkan warnanya sangat memukau, coraknya juga sangat unik.
Dan keesokan harinya, sebelum berangkat kesekolah, ia jemur di depan rumahnya. Lalu, salah satu tetangganya sangat tertarik dengan payung milik Agus, tetangganya tersebut berminat untuk membeli seharga Rp.200.000, mungkin karena payungnya terlihat antik dan juga unik dengan warna yang cerah. Agus pun menjualnya, ia berpikir uangnya bisa ditambahkan kedalam celengannya untuk membeli sepeda. Dan ia juga bisa membeli payung dengan uang hasil jualan mainannya pada ibu Atik.
Saat di sekolah, Agus bercerita dengan kedua sahabatnya, Juli dan Rama. Mereka bertiga sangat gembira, karena Agus sudah punya payung, jadinya ,kalau sewaktu-waktu hujan, Agus tak perlu menunggu hujan reda lagi kalau mau pergi ke sekolah, dan juga tak perlu membawakan tas Rama lagi kalau pergi ke sekolah ketika hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar