Minggu, 21 Februari 2016

Dinasti Umayyah I di Damaskus


 TugasTerstruktur                                              Sejarah Peradaban Islam                               



Peradaban Islam Dinasti Umayyah
Di Damaskus
             
Disusun oleh:

Nama : Syarifah Ulfah
NIM : 1401251510
Lokal : D
                                                                                                       



                                  




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI BANJAMASIN
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016/2017

BAB I


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setelah masa pemerintahan Khulafaurrasyidin berakhir, ditutup oleh kepemimpinannya Khalifah Ali bin Abi Thalib, selanjutnya pemerintahan Islam dilanjutkan dengan berdirinya Dinasti Umayyah.
Sistem pemerintahan demokratis yang telah dibangun oleh Khulafaurrasyidin berubah menjadi sistem pemerintahan monarki (keturunan) sebagaimana yang diterapkan oleh Bani Umayyah dalam memimpin rakyat.
Pada masa jahiliyah dulu sudah terjadi persaingan antara Umayyah dengan Hasyim bin Abdul Manaf yang juga pamannya sendiri. Dalam persaingan itu secara umum Bani Umayyah lebih beruntung karena memliki dukungan syarat memadai. Berdirinya Dinasti Umayyah tidak lepas dari adanya peristiwa penting yang disebut Amul Jamaah atau perdamaian umat islam. Kemudian pada masa itu pemerintahan Islam dipegang oleh Hasan bin Ali yang sangat singkat. Hasan bin Ali banyak mendapat tekanan dari pihak Bani Umayyah sehingga akhirnya berdirilah Dinasti Umayyah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi penyebab berdirinya Dinasti Umayyah.
2.      Apa yang menjadi penyebab hancurnya Dinasti Umayyah.
3.      Sebutkan khalifah Dinasti Umayyah.

C.     Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yakni mendeskripsikan kembali pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah yang berupusat di Damaskus. Selain itu makalah ini juga memberitahukan ibrah yang dapat diapresiasi dari pemerintahan Dinasti Umayyah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asal usul Bani Umayyah
Bani Umayyah merupakan salah satu kabilah dalam masyarakat Arab Quraisy, kabilah ini memegang kekuasaan politik dan ekonomi pada masyarakat Arab. Pada saat kekuasaan ini tengah memuncak, kabilah ini berhadapan dengan misi kerasulan Muhammad SAW karena mereka menolak ajaran nabi Muhammad SAW untuk memeluk agama Islam. Dalam setiap persaingan Umayyah selalu berada pada pihak yang unggul, hal ini yang disebabkan karena umayyah memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin, diantaranya :
a.       Umayyah keturunan keluarga bangsawan
b.      Mempunyai harta kekayaan yang cukup
c.       Memiliki banyak keturunan.
Bani umayyah memiliki hubungan darah dengan nabi Muhammad SAW karena keduanya merupakan keturunan Abdi Manaf. Diantara kabilah Quraisy terdapat seorang tokoh dan justru membela Rasulullah yaitu Utsman bin Affan, dengan dukungan Utsman bin Affan inilah yang menjadi jalan pengislaman orang-orang bani Umayyah. Bani umayyah masuk islam setelah penaklukkan kota Makkah. Salah satu tokoh bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, ia adalah seorang yang ahli dalam politik, memiliki kepribadian yang kuat, jujur dan dermawan. Pada saat itu Islam masih pada masa khulafaurrasyidin yang di pimpin oleh khalifah Utsman bin Affan. Muawiyah menjabat sebagai gubernur di Syam (Syiria). Dengan hal itu maka kedudukan Mu’awiyah semakin kuat dan pengaruhnya semakin besar karena ia mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, menata administrasi pemerintahan yang baik serta meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang sangat kuat. Sehingga Muawiyah mendapat dukungan yang besar dan kuat dari rakyat bangsa Arab.
Utsman bin Affan wafat karena dibunuh oleh orang-orang yang sengaja ingin menghancurkan Islam dan menjerumuskan kaum muslimin ke jurang kehancuran. Kala itu, Utsman bin Affan dibunuh oleh Al-Ghafiqi.[1] Setelah Utsman bin Affan terbunuh, kepemimpinan Islam mengalami kekosongan untuk sementara waktu. Umat Islam tidak dapat dibiarkan tanpa pemimpin. Untuk mengisi kekosongan itu, sebagian sahabat berpendapat bahwa yang paling pantas menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Awalnya Ali bin Abi Thalib menolak, namun karena kuatnya desakan mereka, pada akhirnya Ali bin Abi Thalib menerima jabatan sebagai khalifah.[2] Pada waktu Utsman bin Affan wafat, khalifah Ali bin Abi Thalib memikul beban yang berat. Beliau menghadapi masalah yang sangat sulit yaitu perpecahan umat Islam yang terbagi menjadi tiga kelompok, diantaranya adalah[3] :
a.       Kelompok Muawiyah yang menuntut bela atas terbunuhnya Utsman bin Affan, dalam hal ini Ali dikambinghitamkan sebagai orang yang harus ikut bertanggung jawab.
b.      Kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib
c.       Kelompok Aisyah, Zubair dan Talhah yang tidak setuju atas tuntutan wafatnya Utsman dan juga tidak setuju Ali dipilih menjadi khalifah.
Umat islam terpecah belah karena ulah Abdullah bin Saba yakni orang Yahudi yang berpura-pura memeluk islam dengan politik liciknya. Pada saat itu terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin. Dalam kedua perang tersebut kelompok Ali berada dalam kemenangan, Amru bin Ash yang merupakan pembantu utama Muawiyah memerintahkan kepada anggota pasukannya untuk  memasang mushaf Al-Qur’an di ujung tombak ke atas, pertanda mengajak damai menurut kitabullah. Dan akhirnya perang berakhir dengan perundingan yang disebut dengan “Tahkim daumatul Jandal” pada bulan Ramadhan 34 H. Hasil perundingan tersebut menyatakan bahwa, pertama Utsman telah mati teraniyayadan yang berhak menuntutnya adalah Muawiyah, kedua bahwa sepekat menurunkan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah dari jabatan masing-masing. Dan selanjutnya yang menduduki jabatan khalifah ada di tangan muslimin.
Kelompok Ali pada masa itu terpecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok Khawarij atau kelompok yang keluar dari Ali bin Abi Thalib dan kelompok Syiah atau kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib memerintah selama 4 tahun 9 bulan, yaitu dari bulan Zulhijjah tahun 36 H/656 M sampai bulan Ramadhan tahun 41 H/661 M. Ia meninggal pada usia 63 tahun karena dibunuh oleh Abdur Rahman bin Muljam. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat maka kelompok Syiah mengangkat Hasan bin Ali sebagai khalifah pada tahun 661 M/41 H. Namun beliau tidak bertahan lama karena mendapat tekanan-tekanan dari Muawiyah. Kemudian Hasan bin Ali turun dari tahtanya dan menyerahkannya kepada Muawiyah dengan beberapa syarat. Setelah Muawiyah sepakat dalam syarat yang diajukan oleh Hasan bin Ali maka terjadilah peristiwa ‘Amul Jamaah’.[4] Peristiwa “Amul Jama’ah” (rekonsiliasi umat Islam) terjadi di Maskin, dekat Madain, Kuffah pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa “Amul Jamaah” ditandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khilafah) dari tangan Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sofyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengakui Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai pemimpin umat Islam.[5] Makna yang bisa diambil dalam peristiwa Amul jamaah ini adalah adanya peralihan sistem pemerintahan dari yang bersifat demokratis menjadi pemerintahan yang bersifat monarki atau turun-temurun.
B.     Pemerintahan Dinasti Umayyah
Dinasti umayyah didirikan oleh Mu’awiyyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Sejak dulu Mu’awiyyah sangat berambisi untuk duduk di kursi kekuasaan. Oleh karena itu, ia melakukan segala cara, dengan siasat dan tipu muslihat yang licik. Kedudukannya sebagai khalifah tidak berdasarkan musyawarah dan kesepakatan kaum Muslimin. Jabatan raja, menjadi semacam benda pusaka yang dapat diwariskan kepada anak keturunannya.
Dinasti bani Umayyah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun ( 40-132 H/661-750 M). Kota damaskus diambilnya sebagai pusat pemerintahan dan ibukota negara. Selama Dinasti ini berkuasa, banyak kemajuan yang dicapai, khususnya dalam bidang penaklukan daerah dan perluasan wilayah. Pada masa awal pemerintahan Mu’awiyyah, ada usaha memperluas wilayah kekuasaan, baik ke Barat maupun ke Timur. Untuk perluasan wilayah Barat dikirimlah putranya sendiri, Yazid bin Mu’awiyah ke daerah Byzantium, sedangkan ke wilayah Timur dikirim panglima Muhallab bin Abi Sufrah. Selain itu, masih banyak panglima-panglima lain yang ditugaskan oleh mu’awiyah untuk menadakan perluasan ke wilayah Afrika. Selama kekuasaan dinasti Bani Umayyah, terdapat banyak perkembangan dan kemajuan yang dialami oleh umat islam. Pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah menggunakan cara militer dan diplomasi untuk meredam pergolakan yang dilakukan oleh musuh politiknya. Prestasi yang membanggakan adalah ketika kekuasaan di bawah kendali khalifah Umar bin Abdul Aziz karena mampu menerapkan diplomasi politik dengan baik. Hasil gemilang itu adalah keberhasilannya merengkuh kelompok syiah dan khawarij. Maka pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz tercipta stabilitas keamanan dan politik. Pada masa itu tidak pernah ada rongrongan dan upaya pemberontakan yang menonjol dari masyarakat karena mereka merasa puas dengan pola kepemimpinan beliau.
Dalam sistem pemerintahan, Dinasti Umayah membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang terdiri dari lima lembaga yang membidangi bagian tertentu, yaitu :
1.      Lembaga politik (An-Nizam As-Siyasi)
2.      Lembaga keuangan (An-Nizam Al-Mali)
3.      Lembaga tata usaha negara ( An-Nizam Al-Idari)
4.      Lembaga kehakiman (An-Nizam Al-Qodai)
5.      Lembaga ketentaraan (An-Nizam Al-Harbi)
Melengkapi kelima lembaga di atas, juga dibentuk dewan sekretaris negara (Diwanul Kitabah) yang bertugas memfasilitasi segala urusan pemerintahan. Diwanul Kitabah terdiri dari lima orang, yaitu :
1.      Sekretaris persuratan (Katib Ar-Rasail)
2.      Sekretaris keuangan (Katib Al-Kharraj)
3.      Sekretaris tentara (Katib Al-Jund)
4.      Sekretaris kepolisian (Katib Asy-Syurtah)
5.      Sekretaris kehakiman (Katib Al-Qodi)

Adapun untuk menjaga keselamatan khalifah dibentuk ajudan atau Al-Hijabah sebagai bagian dari protokoler. Jadi tidak sembarang orang bisa menghadap khalifah tanpa izin dari Al-Hijabah. Perlunya dibentuk Al-Hijabah didasarkan pada pengalaman masa lalu yang sering terjadi pembunuhan terhadap khalifah. Hal itu menunjukkan bahwa sistem politik dan pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah telah tertata rapi.[6] Pembentukan berbagai lembaga pemerintahan dalam upaya memperbaiki sistem politik dan pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah ini berdampak positif pada kesejahteraan Masyarakat.
Puncak kejayaan dinasti Umayyah terjadi pada masa-masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705-715 M), dan khalifah pertama, yakni Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada masa khalifah Muawiyah, sistem pemerintahan negara-negara di luar Islam umumnya menerapkan pemerintahan Despotisme artinya pemerintahan yang kekuasaannya hanya dipegang oleh satu tangan saja yaitu raja atau kaisar.

C.    Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Umayyah
Pembangunan yang dilakukan khalifah Dinasti Umayyah mengantarkan rakyatnya pada kemakmuran dan kemajuan di berbagai bidang secara menakjubkan.
a.       Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Umayyah ini, banyak sahabat yang masih hidup sehingg banyak kaum muslimin yang belajar kepada mereka. Di Madinah, ada Ibnu Abbasm Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Umar, dan Abu Hurairah. Di Kufah, ada al-Qamah bin Qais an-Nakha’i dan Abu Musa al-Asy’ari. Di Basrah, ada Anas bin Malik dan di Mesir, ada Abdullah bin Amru bin Ash.
1.      Ilmu pengetahuan agama
Ilmu pengetahuan agama yang berkembang pada masa Dinasti Umayyah,antara lain ilmu qiraat, tafsir, hadits, fiqih, nahwu, dan balagah. Secara terperinci perkembangan ilmu agama itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
-          Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat adalah ilmu yang mempelajari tentang bacaan Al-Qur’an. Dalam dunia Islam, dikenal ada tujuh macam bacaan Qur’an yang disebut Qiraatu Sab’ah. Qiraat ini kemudian ditetapkan menjadi dasar bacaan Al-Qur’an. Pelopor Qira’atu Sab’ah adalah Abdullah bin Katsir (w. 120 H di Mekkah) dan Asim bin Abi Nujud (w. 118 H di Kufah)

-          Ilmu Hadits
Khalifah Dinasti Umayyah yang berjasa membukukan hadis ialah Umar bin Abdul Aziz. pada tahun 100 H, khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada Gubernur Madinah dan gubernur lain untuk ikut serta dalam pengumpulan hadis-hadis Nabi.

-          Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir berkembang dari lisan ke lisan sampai akhirnya tertulis. Ahli tafsir yang pertama pada masa itu ialah Ibnu Abbas. Ia mengajarkan tafsir Al-Qur’an dari Masjidil Haram di Mekah.
-          Ilmu Fikih
Perkembangan ilmu fikih pada masa Dinasti Umayyah berawal dari banyaknya para sahabat Nabi saw. Yang berpencar ke berbagai daerah dengan sistem masyarakat yang berbeda. Ahli Fikih yang terkenal pada masa itu antara laon Ata’ bin Rabbah di Mekkah, Ibrahim an-Nakha’i di Kufah, Hasan al-Basri di Kufah, Tawus di Yaman, dan Amir bin Syarahil asy-Sya’bi.
-          Ilmu Tata Bahasa
-          Ilmu Balagah
2.      Ilmu pengetahuan Umum
Pada masa kekuasaan bani Umayyah, ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik yang sumber dari Al-Qur’an maupun yang bersumber dari akal manusia. Ilmu-ilmu umum yang berkembang itu di antaranya:
-          Ilmu Kimia yang berasal dari orang Yunani,
-          Ilmu Kedokteran,
-          Ilmu seni, baik arsitektur maupun yang lainnya, dan
-          Ilmu Sejarah.

b.      Kemajuan di bidang Pemerintahan
Kemajuan di bidang pemerintahan yang telah dicacpai Dinasti Umayyah, antara lain dalam organisasi politik, tatat usaha negara,keuangan, ketentaraan, dan kehakiman.
1.      Lembaga politik (An-Nizam As-Siyasi)
Organisasi politik dan Administrasi pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah, meliputi jabatan khalifah ( kepala negara), wizarah (kementrian), kitabah (Kesekretariatan), dan hijabah (pengawalan pribadi.
2.      Lembaga keuangan (An-Nizam Al-Mali)
Sumber-sumber keuangan pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah berasal dari pajak tanah (kharraj) dari daerah-daerah taklukannya. Akan tetapi pada masa Hisyam bin Abdul Malik, kharraj dikenakan kepada semua penduduk yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah.
3.      Lembaga tata usaha negara ( An-Nizam Al-Idari)
Lembaga tata usaha negara pada masa Dinasti Umayyah dibagi menjadi empat departemen.
a.       Diwan al-Kharraj, yaitu departemen pajak yang bertugas mengelola pajak tanah di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Dinasti Umayyah.
b.      Diwan ar-Rasa’il, yaitu departemen pos yang berkewajiban menyampaikan berita atau surat dari dan ke daerah-daerah kekuasaan Dinasti Umayyah.
c.       Diwan al-Musytagillat, yaitu departemen yang bertugas menangani berbagai kepentingan umum.
d.      Diwan al-Khatim, yaitu departemen yang menyimpan berkas-berkas atau dokumen-dokumen penting negara.

4.      Lembaga kehakiman (An-Nizam Al-Qodai)
Pada masa Dinasti Umayyah, kekuasaan politik telah dipisahkan dengan kekuasaan pengadilan. Kekuasaan kehakiman pada masa itu dibagi menjadi tiga badan, yaitu :
a.       Al-Qada, yaitu badan yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan negara.
b.      Al-Hisbah, yaitu badan yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
c.       An-Nadhar fil madalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding, semacam mahkamah agung di Indonesia.
5.      Lembaga ketentaraan (An-Nizam Al-Harbi)
Lembaga ketentaraan pada masa Dinasti Umayah merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dibuat oleh Khulafaurrasyidin. Pada masa pemerintahan sebelumnya, siapa saja boleh menjadi tentara. Tetapi pada masa Dinasti Umayyah, yang boleh menjadi tentara hanya orang-orang Arab atau keturunannya.
Perkembangan lain yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah adalah dibentuknya angkatan laut, selain angkatan darat yang sudah ada sejak lama. Oleh karena itu, pada masa Dinasti Umayah terdapat sekitar 60.000 prajurit tetap dan sukarelawan.

c.       Kemajuan di bidang Seni :
1.      Seni rupa
Seni rupa yang berkembang adalah seni ukir dan pahat. Saat itu banyak ayat Al- Qur’an dan Hadis Nabi yang diukir di tembok masjid serta istana raja.
2.      Seni suara
Seni suara yang berkembang antara lain : qira’atul Qur’an dan qasidah.

d.      Kemajuan di bidang Sastra
Bidang kesusastraan mengalami kemajuan. Hal itu ditandai dengan munculnya sastrawan-sastrawan seperti :
1)      Qays bin Mulawah, termasyhur denga sebutan dengan sebutan Laila Majnun (wafat   649 M)
2)      Jamil Al-Uzri (wafat tahun 701 M)
3)      Al-Akhtal ( wafat tahun 710 M)
4)      Umar Bin Abi Rubi’ah (wafat tahun 719 M)
5)      Al-Farazdaq  (wafat tahun 732 M)
6)      Ibnu Al-Muqoffa  (wafat tahun 756 M)
7)      Ibnu Jarir  (wafat tahun 792 M)

e.       Kemajuan di bidang Seni Arsitektur
Pembangunan fisik pada masa Daulah Bani Umayyah juga mendapat perhatian yang
besar. Usaha yang dilakukan oleh Daulah Bani umayyah dalam kaitannya dengan pelestarian bangunan bersejarah antara lain :
1)      Mengubah gereja St. Jhon di Damaskus menjadi masjid
2)      Merenovasi Masjid Nabawi
3)      Membangun Istana Qusayr Amrah dan Istana al-Mustafa yang digunakan sebagai tempat peristirahatan di padang pasir.[7]









D.    Silsilah Khalifah Bani Umayyah

Berdasarkan silsilah diatas jelas bahwa Dinasti Umayyah memiliki 14 khalifah, yang mana terdapat 4 orang khalifah yang memegang kekuasaan selama 70 tahun. Dan 10 orang lainnya memerintah selama 21 tahun.[8]

E.     Kehancuran Dinasti Umayyah I
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran, yaitu sebagai berikut.
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadao gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pasa masa Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
4.      Lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
5.      Sebagian besar rakyatnya kecewa karena pihak pemerintahan Dinasti Umayyah kurang perhatian dengan perkembangan agama.
6.      Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib.

Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya.[9]


F.     Ibrah perkembangan kebudayaan/peradaban islam masa Bani Umayyah

Yang menjadi pembelajaran berharga dari perkembangan kebudayaan pada masa Daulah Bani Umayyah ini adalah
1.      Keuletan dan semangat para ulama dalam mencari dan menggali serta mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.       Ketekunan para ulama dalam melakukan ijtihad ( sebuah usaha yang sungguh-sungguh) dan keikhlasan para pemimpin yang tanpa pamrih memperjuangkan dan memajukan islam.[10]



















BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN

1.      Beridirinya Dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh peristiwa “Amul Jama’ah” (rekonsiliasi umat Islam) terjadi di Maskin, dekat Madain, Kuffah pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa “Amul Jamaah” dilakukan dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khilafah) dari tangan Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sofyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengakui Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai pemimpin umat Islam. Makna yang bisa diambil dalam peristiwa Amul jamaah ini adalah adanya peralihan sistem pemerintahan dari yang bersifat demokratis menjadi pemerintahan yang bersifat monarki atau turun-temurun.


2.      a. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
b. Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
c. Pasa masa Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
d. Lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
e. Sebagian besar rakyatnya kecewa karena pihak pemerintahan Dinasti Umayyah kurang perhatian dengan perkembangan agama.
f. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib.

3.      1) Muawiyyah bin Abi Sufyan {tahun 40-64 H/661-680 M}
2) Yazid bin Muawiyah {tahun 61-64 H/680-683 M}
3) Muawiyah bin Yazid {tahun 64-65 H/683-684 M}
4) Marwan bin Hakam {tahun 65-66 H/684-685 M}
5) Abdul Malik bin Marwan {tahun 66-86 H/685-705 M}
6) Walid bin Abdul Malik {tahun 86-97 H/705-715 M}
7) Sulaiman bin ‘Abdul Malik {tahun 97-99 H/715-717 M}
8) Umar bin ‘Abdul ‘Aziz {tahun 99-102 H/717-720 M}
9) Yazid bin ‘Abdul Malik {tahun 102-106 H/720-724M}
10) Hisyam bin Abdul Malik {tahun 106-126 H/724-743 M}
11) Walid bin Yazid {tahun 126 H/744 M}
12) Yazid bin Walid {tahun 127 H/744 M}
13) Ibrahim bin Walid {tahun 127 H/744 M}
14) Marwan bin Muhammad {tahun 127-133 H/744-750 M}







DAFTAR PUSTAKA

A.Syalabi.Sejarah & Kebudayaan Islam 2.PT.Pustaka Al-Husna Baru.Jakarta : 2008
Buku Ajar Araminta Sains-Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas VII
N.Abbas Wahid dan Suratno.Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam.PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.Surakarta : 2013
Samsul Munir Amin.Sejarah peradaban Islam.AMZAH : 2010
Sri Budiarto dkk.Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas VII.CV.Alvadinar.Surakarta.
Ulfah Nurul M dkk.Makalah Perkembangan Islam Pada Masa Klasik (Keemasan).



[1] Sri Budiarto dkk ,Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas VII sem. gasal, CV.Alvadinar,Surakarta,hlm.8
[2] N.Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam,PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,Surakarta, 2013. Hal 33
[3] Sri Budiarto dkk, op. cit. hlm.9
[4] Sri Budiarto dkk, Ibid,hlm. 10
[5] Sri Budiarto dkk, Ibid.,hlm.5
[6] Buku Ajar Araminta Sains-Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas VII,hlm. 41
[7] N.Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam,PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,Surakarta, 2013, hlm. 52
[8] A.Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2,PT.Pustaka Al-Husna Baru,Jakarta,2008 hlm.26
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, AMZAH,2010,hlm.136
[10] Ulfah Nurul M dkk ,Makalah Perkembangan Islam Pada Masa Klasik (Keemasan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar